Sifat Kaum Munafik Dalam Urusan Aqidah
SIFAT KAUM MUNAFIK DALAM URUSAN AQIDAH
MENENTANG ALLAH AZZA WA JALLA DAN RASUL-NYA
Di antara karakter kaum munafik yang paling menonjol adalah penentangan terhadap Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ۚ ذَٰلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ
Tidaklah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allâh dan Rasûl-Nya, maka sesungguhnya nerakan jahannamlah baginya, kekal mereka di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar. [At-Taubah/9:63]
Pangkal makna penentangan (muhâddah) adalah menyelisihi, memerangi, membangkang, memusuhi dan melawan.[1] Dan semua makna ini terhimpun dalam diri orang munafik.
Fenomena penentangan terhadap Allâh Azza wa Jalla yang paling signifikan, tampak pada berbagai hal berikut:
1. Keluar dari iman setelah memasukinya. Dosa ini lebih parah dari kekufuran yang asli. Manusia yang lurus bila telah merasakan manisnya iman, tak mungkin keluar darinya. Sedangkan munafik berbalik lagi ke dalam kekufuran. Mengenai hal ini Allâh berfirman dalam rangkaian ayat 1-3 dari Surat Al-Munâfiqûn. Di antaranya Allâh berfirman:
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ
Yang demikian itu (yaitu perbuatan buruk kaum munafik tersebut) adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. [Al-Munâfiqûn / 63:3]
2. Melakukan penipuan, dengan menampakkan iman dan menyembunyikan kekufuran. Bagaimana mungkin manusia yang merupakan makhluk lemah mengira dirinya bisa menipu Allâh Penguasa langit dan bumi?
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
Mereka hendak menipu Allâh dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. [Al-Baqarah /2: 9]
3. Tidak mengenal Allâh sehingga berprasangka buruk terhadap-Nya, dengan meyakini bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak menolong kaum Mukminin. Ini seperti ucapan salah seorang munafik tentang kaum Muslimin kala mereka hendak keluar menuju Tabuk, “Apakah kalian menyangka bahwa memerangi orang-orang Romawi sama dengan memerangi kaum lainnya? Demi Allâh! Sungguh, seakan-akan aku melihat kalian esok sedang digiring dalam keadaan terikat!”[2] Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ
dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allâh. [Al-Fath /48:6]
4. Mereka sangat getol meminta keridhaan dari sosok yang tidak berkuasa memberikan bahaya atau manfaat dan alai dari keridhaan Allâh Azza wa Jalla .
5. Mereka menentang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mendustakan dan mengharapkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya hancur. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sifat nifak seringkali terjadi terkait dengan hak Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan inilah yang sering disebut Allâh dalam al-Quran mengenai kemunafikan mereka selama kehidupan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[3]
6. Mereka memberi walâ’ (loyalitas) kepada musuh Allâh, kaum musyrikin dan ahlul kitab. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَىٰ أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ ۚ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ
Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, “Kami takut akan mendapat bencana.” Mudah-mudahan Allâh akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasûl-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. [Al-Mâ’idah /5:52]
Mereka khawatir kalau umat Islam kalah, sehingga mereka memberi walâ’ kepada kaum kuffar.[4]
7. Mereka menyelisihi Syariat Allâh Azza wa Jalla dan membangkang perintah-Nya. Bila diseru berinfak di jalan Allâh, mereka enggan; Bila diseru jihad, tidak mau berangkat. Mereka tidak mengerjakan shalat kecuali dalam kemalasan; dan berbagai bentuk penentangan lainnya.
RIYA DAN MENCARI RIDHA MANUSIA
Amalan kaum munafik hanyalah tumpukan riya’. Iman sama sekali tidak mengisi relung hati mereka. Mereka tidak takut akan kebesaran Allâh Azza wa Jalla . Penyakit hatilah yang memicu mereka menampakkan amalan baik di depan manusia, demi kepentingan dunia mereka.
Riya masuk dalam kategori nifak kecil, bila dasar amalnya untuk Allâh Azza wa Jalla , namun dipertengahan amal, riya’ merasukinya. Namun bisa juga masuk kategori nifak besar; yaitu bila dasar amalnya memang bukan untuk mencari wajah Allâh. Jenis nifak ini hampir tidak terjadi kecuali pada kaum munafik yang merahasiakan kekufuran. Mungkin mereka menunaikan sebagian syiar Islam, namun hakikatnya mereka mencemoohnya.
Mereka infakkan harta atas dasar riya’ dan nifak, untuk mencapai ridha manusia, sehingga Allâh Azza wa Jalla tidak akan menerimanya.
يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ ۖ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَرْضَىٰ عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, sesungguhnya Allâh tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu. [At-Taubah /9: 96]
Selama Allâh Azza wa Jalla tidak ridha kepada kaum fasik, maka seorang Mukmin juga tidak boleh ridha kepada orang yang tidak diridhai Allâh Azza wa Jalla . Namun bila mereka meninggalkan kefasikan, maka Allâh l akan meridhai mereka, dan kaum Mukmin pun akan ridha kepada mereka.
Dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ سَخَطَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ
Barangsiapa mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allâh, Allâh pun murka kepadanya, dan Allâh membuat manusia marah kepadanya.[5]
Karena itulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam takut kalau umat beliau terjangkiti penyakit riya’ ini.
LUPA KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ ۚ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan; sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya (bakhil, tidak mau menginfakkan harta di jalan-Nya). Mereka telah lupa kepada Allâh, maka Allâh melupakan mereka. [At-Taubah /9 : 67]
Asal makna kata nisyân (lupa) adalah meninggalkan; yaitu tidak mengingat apa yang diminta untuk diingat.[6]
Lupanya kaum munafik terhadap Allâh Azza wa Jalla bisa mengandung beberapa maksud:
- Syirik kepada Allâh Azza wa Jalla
- Meninggalkan perintah-Nya secara total. Ini lebih umum dari bentuk di atas. Seperti dikatakan al-Fakhrurrâzî: “Mereka meninggalkan perintah-Nya hingga posisinya seperti halnya perkara yang dilupakan.”[7]
- Mereka lupa mengingat Allâh.[8]
- Mereka lupa akan kekuasaan Allâh Azza wa Jalla dan sunnah Kauniyyah-Nya, yaitu adzab yang ditimpakan kepada orang-orang batil dan munafik yang menentang Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Ketika mereka lupa kepada Allâh Azza wa Jalla , Allâhpun memberikan hukuman setimpal, yaitu Allâh Azza wa Jalla melupakan dan membiarkan mereka dalam adzab, dan kesesatan, karena hati mereka tidak pantas menggenggam hidayah-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allâh, lalu Allâh menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. [Al-Hasyr /59: 19]
Orang yang lupa kepada Allâh sejatinya berada di jahannam dunia sebelum ia dibenamkan di neraka akhirat.[9]
TIDAK RIDHA DENGAN PUTUSAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Allâh berfirman:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. [At-Taubah /9: 58]
Ini seperti yang dikatakan Dzul Khuwaishirah kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallammembagi harta ghanimah, “Berlaku adillah! Wahai Rasûlullâh!” Rasûl menjawab, “Celaka engkau! Lalu siapa yang berbuat adil bila aku tidak adil?!”[10]
Kaum munafik tidak ridha dengan putusan Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka menganggap pembagian harta tersebut atas dasar hawa nafsu. Sejatinya itu bentuk kerakusan mereka terhadap dunia.
Keridhaan terhadap putusan Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah konsekuensi syahadat Muhammad Rasûlullâh, dan juga konsekuensi syahadat Lâ ilâha illallâh. Seseorang tidak dikatakan mengakui syahadat ini kecuali bila ia taat kepada Rasûlullâh, membenarkan dan ridha terhadap keputusannya. Barangsiapa dalam masalah yang diperselisihkan berhukum pada selain Rasûl, maka sungguh ia telah berdusta.[11]
Dan pada masa sekarang ini, kita benar-benar menghadapi kalangan munafik yang tidak ridha dan menolak syariat Allâh Azza wa Jalla . Lebel usang dan tidak sesuai dengan laju zaman mereka capkan pada syariat ini. Ada kelompok lain memang tidak menolak syariat Allâh Azza wa Jalla , tetapi memahaminya semau mereka. Mereka ubah dan balik hukum Allâh Azza wa Jalla sesuai kepentingan mereka. Justru syariat syaitan lah yang mereka tegakkan, di mana pokok asasi Islam telah diubah, atas nama pembaharuan agama.[12]
Mereka ini seperti hal yang digambarkan Allâh Azza wa Jalla dalam rangkaian ayat ke-60 sampai ke-65 dari Surat an-Nisâ’.
Ketika seorang dari Anshar tidak menerima putusan Rasûl dalam sengketa masalah aliran air antara dirinya dengan Zubair Radhiyallahu anhu , maka imanpun tercabut dari orang Anshar ini. Lalu bagaimana pula dengan orang yang tidak ridha terhadap putusan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam masalah agama?![13]
MENGEJEK RASUL SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DAN KAUM MUKMININ
Kaum Mukminin, terutama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , telah merasakan berbagai bentuk cemoohan dari kaum munafik. Allâh Azza wa Jalla berfirman.
وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَيَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ ۚ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ ۚ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Di antara mereka (orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, “Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya.” Katakanlah, “Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allâh, mempercayai orang-orang Mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu.” Dan orang-orang yang menyakiti Rasûlullâh itu, bagi mereka azab yang pedih. [At-Taubah /9:61]
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari as-Suddi ia berkata bahwa sekelompok munafik hendak mencerca Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian dari mereka melarang hal tersebut, dan berkata, “Kami takut kalau celaan itu sampai kepada Muhammad, ia pun akan membalas kalian.” Sebagian lagi berkata, “Muhammad itu tidak lain adalah orang yang percaya semua yang ia dengar. Kita bersumpah kepadanya, iapun akan mempercayai kita.” Maka turunlah firman Allâh di atas.[14] Ini adalah bentuk kelancangan terhadap risalah dan pengembannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni tuduhan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercayai semua ucapan tanpa diperiksa dulu.
Adab luhur dari Nabi yang mendengar ucapan dengan penuh perhatian, dan memperlakukan manusia sesuai dengan lahiriyah yang selaras dengan prinsip ajaran syariat, mereka namakan dan gambarkan tidak sebagaimana semestinya.
Demikianlah kaum munafik di setiap zaman dan tempat. Mereka tidak canggung untuk mengejek apapun, walaupun ditujukan kepada Ulama rabbani, walaupun juga dalam hal yang sakral dalam agama. Yang mereka sakralkan hanyalah dunia yang mereka jalani.
Allâh Azza wa Jalla membantah mereka dengan berfirman, “[Katakanlah, “Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu], mempercayai yang bermanfaat berupa wahyu yang membuat manusia menjadi shalih.[15]
Begitu pula dengan para pewaris Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallamyaitu para Ulama dan da’i di setiap zaman. Mereka adalah sumber kebaikan dan petunjuk, akan tetapi kaum munafik tidak mengetauinya.
Pada perang Tabuk, seseorang berkata, “Belum pernah kami melihat seperti para ahli Quran kita. Mereka orang paling rakus perutnya. Tidak pernah pula kita melihat yang paling dusta lisannya; tidak pula yang paling pengecut di medan perang (seperti halnya mereka).” Hingga sampailah berita itu kepada Rasûlullâh dan turunlah al-Quran. Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Seolah aku melihatnya bergelantung pada tali pengikat pelana unta Rasûl; sedangkan bebatuan mengantuk (kaki)nya. Sambil ia berkata, “Kami hanya ngobrol dan bersenda gurau belaka.” Namun Rasûlullâh hanya mengucapkan, “Apakah terhadap Allâh, ayat-ayat-Nya dan Rasûl-Nya kalian mengolok-olok?” [At-Taubah /9: 65].[16]
Tabiat kaum munafik adalah mereka khawatir kalau-kalau kedok dan penyelewengan mereka tersingkap. Mereka tidak tahu, betapapun mereka sembunyikan, namun itu akan terbaca dari mimik wajah dan keceplosan juga dari lidahnya. Benar apa yang Allâh Azza wa Jalla firmankan:
وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ
Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka. [Muhammad /47: 30]
Dan barangsiapa yang mencemooh sesuatupun dari Kitabulah atau sunnah Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih, atau mengejek dan mencelanya, maka ia telah kafir kepada Allâh.[17]
FASIK
Secara bahasa, fasik berarti keluar. Sedangkan dalam istilah syar’i fasik bermakna keluar dari ketaatan kepada Allâh; baik secara total yang berarti ia kafir dan musyrik; atau secara parsial, artinya ia ahli maksiat, meski termasuk kaum Muslimin.[18]
Munafik telah keluar dari ketaatan Allâh Azza wa Jalla . Orang munafik yang menyembunyikan kekufuran namun menampakkan Islam, padahal ia membencinya, ia adalah fasik besar. Adapun seorang Muslim yang terkontaminasi oleh sesuatu dari cabang-cabang nifak, tapi pondasi iman masih ada di hatinya, maka ia fasik kecil.
Allâh Azza wa Jalla berfirman mengenai mereka.
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ ۚ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ ۗ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allâh, maka Allâh melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik, mereka itulah orang-orang yang fasik. [At-Taubah /9: 67]
Di sini, dengan tegas divonis bahwa kaum munafik itu adalah orang-orang fasik. Di penghujung ayat tersebut, diungkapkan dengan shîghat qashr (mengkhususkan sesuatu dengan sesuatu lain. Dalam hal ini mengkhususkan kaum munafik dengan sifat fasik), untuk menerangkan bahwa tidak ada kefasikan yang lebih besar daripada kefasikan kaum munafik.
Allâh Azza wa Jalla telah melabeli kaum munafik sebagai fasik di berbagai tempat dalam al-Quran, termasuk dalam Surat at-Taubah. Allâh Azza wa Jalla memberitakan bahwa amal mereka tidak diterima, dan tidak diringankan bagi mereka adzab di Jahannam. Sebab vonis ini adalah karena mereka kaum fasik.
قُلْ أَنْفِقُوا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا لَنْ يُتَقَبَّلَ مِنْكُمْ ۖ إِنَّكُمْ كُنْتُمْ قَوْمًا فَاسِقِينَ
Katakanlah: “Nafkahkanlah hartamu, baik dengan sukarela ataupun dengan terpaksa, namun nafkah itu sekali-kali tidak akan diterima dari kamu. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang fasik. [At-Taubah /9: 53]
Allâh juga tidak akan memberi petunjuk kepada mereka. Seperti dalam firman Allâh yang artinya: Dan Allâh tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. [At-Taubah /9:80]
Allâh Azza wa Jalla juga melarang untuk menyhalatkan dan mendoakan mereka yang mati dalam kondisi tersebut. Sebab mereka mati dalam keadaan menentang Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya. Allâh berfirman.
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu sekali-kali shalati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allâh dan Rasûl-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. [At-Taubah /9: 84]
Hal-hal tersebut di atas ‘illah (sebab)nya adalah karena kekufuran dan kefasikan mereka. Dan kita bisa memahami bentuk kebalikan dari itu semua; yakni bahwa terdapat kabar gembira bagi kaum Mukminin yang tulus yang tidak bercampur nifak dan syirik.
TIDAK MENGAMBIL MANFAAT DARI AYAT-AYAT ALLAH AZZA WA JALLA
Allâh berfirman.
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَٰذِهِ إِيمَانًا ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ ﴿١٢٤﴾ وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَىٰ رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ ﴿١٢٥﴾ أَوَلَا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لَا يَتُوبُونَ وَلَا هُمْ يَذَّكَّرُونَ ﴿١٢٦﴾ وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ نَظَرَ بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ هَلْ يَرَاكُمْ مِنْ أَحَدٍ ثُمَّ انْصَرَفُوا ۚ صَرَفَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Adapun yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir. Dan tidaklah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran? Dan apabila diturunkan satu surat, sebagian mereka memandang kepada yang lain (sambil berkata): “Adakah seorang dari (orang-orang Muslimin) yang melihat kamu?” Sesudah itu merekapun pergi. Allâh telah memalingkan hati mereka disebabkan mereka adalah kaum yang tidak mengerti. [At-Taubah /9:124-127]
Kaum munafik ketika turun ayat-ayat Allâh, mereka bertanya-tanya kepada sesamanya penuh keraguan, siapakah yang dapat mengambil manfaat dari ayat tersebut?!
Kaum Mukmin mendapatkan dua hal yaitu menambah iman dan mendapat kabar gembira. Sedangkan kaum munafik mendapatkan dua musibah: semakin bertambah kekufuran mereka di samping kekufuran dasarnya. Dan bahwa mereka mati dalam keadaan kafir.
Dari penggalan ayat di atas [maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?”] bisa disimpulkan bahwa kaum munafik selalu memeriksa sesama mereka, agar siraman cahaya iman tidak menyelinap ke hati mereka. Terutama para dedengkot munafik dan kekafiran, mereka tidak hanya membiarkan bawahannya sekedar jatuh dalam kesesatan belaka, akan tetapi terus mencuci otak dan memantau mereka agar terus berkutat dalam kesesatannya. Meski berbagai musibah menimpa kaum munafik, namun itu semua tidak juga membuat mereka jera dan kembali kepada Allâh Azza wa Jalla. Mereka sama sekali tidak bisa mengambil pelajaran dan tidak bisa membuka celah hati mereka untuk menerima cahaya iman. Mereka tidak bisa mengambil pelajaran dari ayat-ayat syar’iyyah yaitu al-Quran, tidak juga ayat-ayat kauniyyah yang mereka saksikan dan alami.
Penyebab bertenggernya tabiat ini tidak lain karena ada penyakit di hati mereka dan ada ketimpangan dalam keyakinan mereka. Mereka kaitkan semua kejadian dan peristiwa pada sebab-sebab alamiah semata. Telah hilang dari jiwa mereka kesadaran imani. Tak tergerak sama sekali untuk bertaubat, bahkan pendahuan taubat pun tidak tampak dari gerak-gerik mereka.
Faktor yang membuat mereka tidak bisa mendulang manfaat dari ayat-ayat-Nya adalah:
- Ada penyakit hati, baik kekufuran, keraguan, atau maksiat, baik karena dorongan syahwat ataupun adanya syubhat. Ini bisa dirujuk pada Surat Al-Mâ’idah ayat ke-52.
- Cinta dan mengedepankan kesenangan dunia yang akan sirna. Yang membuat para dedengkot kafir Quraisy, termasuk juga Kaisar Raja Romawi, enggan menerima kebenaran tidak lain adalah takut kalau kedudukan dan pangkat mereka sirna. Bisa dilihat pada ayat ke-11 dan ke-12 dari Surat al-Fath.
Semoga Allah memelihara kita dari sifat-sifat busuk ini.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] At-Tafsîr Al-Kabîr 8/122, Mufradât Alfâzhil Qur’ân Al-Karîm, 222, Irsyâd Al-`Aql As-Salîm 4/78.
[2] Ad-Durrul Mantsûr 4/231.
[3] Majmû` Al-Fatâwâ 7/639.
[4] Majmû` Al-Fatâwâ 7/194.
[5] HR. At-Tirmidzi bab Kesudahan orang yang mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, no. 2414 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[6] Al-Mufradât pada kata nasiya, hlm. 803.
[7] Mafâtîhul Ghaib, 16/129.
[8] Lihat Tafsîrul Qur`ânil `Azhîm 2/368.
[9] Lihat Al-Jawâb Al-Kâfî, 118.
[10] Lihat Tafsîr ath-Thabari 11/507. Asal hadits ini diriwayatkan al-Bukhârî dalam kitab manâqib no 3610, juga Muslim kitab az-zakât no 2456.
[11] Lihat Fathul Majîd Syarh Kitabut-Tauhid, hlm. 350-360.
[12] Lihat: Mafhûm Tajdîd Ad-Dîn 281.
[13] Lihat Taisîrul Azîzil Hamîd, hlm. 500.
[14] Ad-Durrul Mantsûr 4/227.
[15] Lihat: Tafsîr Ath-Thabari 11/537, Al-Muharrar al-Wajîz 3/53, Tafsir Ibnu Katsir 4/110.
[16] Tafsîr Ath-Thabari, 11/543.
[17] Lihat Taisîr al-Karîmir Rahmân 3/260; yaitu dalam rangkaian ayat ke-64 sampai 66 dari Surat at-Taubah.
[18] Inilah madzhab ahlussunnah wal jama’ah dan yang dipegangi salaf umat ini. Ini yang shahih yang ditunjukkan berbagai nash. Lain dengan yang dipegang muktazilah dan khawarij.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6840-sifat-kaum-munafik-dalam-urusan-aqidah.html